Dua lelaki berpakaian coklat tua mengapit lelaki separuh baya
menuju kamar tidur berkota 5 orang tetapi sesak di jejali penghuni tiga kali
lebih banyak dari kapasitas standar, saat
salah satu dari lelaki berseragam membuka grendel-grendel pengaman yang
mengamankan penghuni kamar, kepala lelaki setengah baya itu tegak, menoleh ke arah
ruangan disudut deret bangunan tempat aku berdiri, tersenyum lalu menganggukkan
kepala kepadaku sebelum menghilang di balik jeruji.
Segurat senyum menghiasi sudut wajahku membalas senyuman dari lelaki itu, tapi aku tahu dia tidak melihatnya, karena serombongan lelaki berpakaian coklat melintas diantara jangkauan pandang kami memecah situasi melodrama yang bila di telenovela korea biasanya dapat jatah scene 10 detikan lebih karena di slow motion dan sudut pengambilan sudut gambar bisa lebih dari 8 titik. Karena moment itu sungguh berkesan, bermakna dan sarat penafsiran.
Segurat senyum menghiasi sudut wajahku membalas senyuman dari lelaki itu, tapi aku tahu dia tidak melihatnya, karena serombongan lelaki berpakaian coklat melintas diantara jangkauan pandang kami memecah situasi melodrama yang bila di telenovela korea biasanya dapat jatah scene 10 detikan lebih karena di slow motion dan sudut pengambilan sudut gambar bisa lebih dari 8 titik. Karena moment itu sungguh berkesan, bermakna dan sarat penafsiran.
“Ayah, aku bangga padamu.” Hanya kata itu yang mampu
menggumam di bibirku mewakili gejolak yang muncul sporadis.
Aku membalikkan badan, karena sosok yang tadi tersenyum dan
tak lain adalah ayahku sendiri tersebut sudah tidak terlihat karena blok
tahanan tertutup gelapnya bayangan dinding tinggi lembaga permasyarakatan. Aku berjalan keluar, mengarah ke gerbang besar
pembatas bui dengan dunia luar, dunia kita, dunia kebebasan.
Segerombolan pewarta menyambutku, beberapa kukenal baik,
beberapa lagi baru pertama kulihat termasuk 3 lelaki yang membawa kamera plus microphone berlabel televisi.
“Apa langkah keluarga besar anda menyikapi pengakuan
mengejutkan di persidangan tadi..?” serbuan pertanyaan dimulai..
“apakah ada bocoran mengenai siapa lagi yang terlibat ?”
“Bagaimana bila massa pendukung dari orang-orang yang
disebutkan namanya itu tidak terima..?”
“Seandainya..”
“Apabila…”….
Aku tak menjawab, hanya tersenyum dan terus berjalan
menerobos kerumunan yang haus informasi itu menuju vespa tua satu-satunya sisa dari kekayaan orang tuaku yang tidak
ikut disita KPK, entah karena mereka menilai secara taksiran vespa uzur ini
tidak layak dan tidak punya nilai jual atau mereka tahu sejarah keberadaan
vespa itu yang di era awal reformasi mengawal sepak terjang aktivis terkenal
yang kini tersandung.
***
Aku masih ingat
sekali, saat ayah menghilang selama 2 minggu sebelum presiden yang ku anggap
tidak akan pernah terganti itu lengser, aku masih es-em-pe saat itu. Dua hari setelah gedung kura-kura raksasa hijau di
senayan sepi dan lepas dari pendudukan pemuda dan mahasiswa ayah kembali.
Kepalanya berbalut perban dan wajahnya terlihat lelah dengan memar di
sana-sini. Aku berlari memeluknya saat sosok lusuh itu muncul di depan pintu
rumah.
“Ayah tidak apa-apa ?” serbuku di sela tangis
Dia tersenyum dan berkata “Jangan cengeng.. inilah resiko
dari perjuangan, ayah mau makan dan bersih-bersih dulu, tolong panas-kan vespa ayah, masih banyak yang
harus ayah kerjakan.”
Ayah melepaskan pelukannya sembari melanjutkan,
“kalau om Subur datang, suruh tunggu dan suruh ibumu buatkan
kopi.” Ayah langsung berlalu ke ruang dalam di sambut histeris dan ledakan
tangis ibu. Aku termangu di tempat ku berdiri merasakan sensasi haru sekaligus
bangga yang begitu berbeda.
Vespa ini intim mengawal ayah, di awal-awal sepak terjangnya di
dunia kami yang baru. Vespa ini kemana-mana membawa pesan-pesan pergerakan dan
niat mulia membenahi republic ini. Ayah dan vespanya adalah legenda sebuah
perjuangan politik mazhab reformasi yang kemudian bertransformasi menjadi kenyataan sekarang ini.
Selain vespa, ada satu sosok lagi yang ikut berperan, sosok itu adalah om Subur, lelaki yang biasa
ku buatkan kopi kental, sosok ambisius dan guru politik serta starter pergerakan dimana ayah menjadi
salah satu pilar.
“akan jalan di tempat dan bahkan berhenti di sini bila agenda
ini tidak dilanjutkan, kawan-kawan di Jakarta berencana masuk ke parlemen,
berada di luar system tidak banyak kontribusi positifnya bagi perubahan yang
kita perjuangkan, berakhirnya orde baru hanya awal, pemilu didepan mata, orang-orang
pergerakan harus masuk ke sistem agar maksimal.” Sayup-sayup suara bersemangat
om Subur menyentuh gendang telingaku yang sedang belajar di kamar tidur,
beberapa bulan setelah itu
Aku menghentikan aktifitas dan ikut mendengarkan diam-diam
obrolan om Subur, Ayah, dan beberapa temannya di ruang tamu.
“Drafnya sudah siap, orang-orang kita pun sudah setuju kita
bergabung ke partai ini, pembentukan DPD tinggal menunggu hari, kamu di
butuhkan di sini.” Seorang lagi bersuara.
“Sebagai apa? Dan seberapa efektif peran ku di-dalam ?”
Ayah bersuara
“Sebagai Ketua, kami teman-teman mahasiswa mendukung, karena
itu kami kesini.”
“Tidak adakah jalan lain selain masuk ke sistem ?” ayah
bertanya ragu
“Inilah kesempatan kita untuk berbuat, bukan hanya sebagai
penyuara dan pengkritik sistem dan koar-koar
di media dan disetiap aksi, berharap ini itu, tapi relevansinya apa ? suara kita hanya ditampung dan ditampung saja, tidak ada perubahan,
sistem dan birokrasi mengganjal setiap keputusan. Kita akan semakin tua kawan,
kita tidak bisa bergerak dari satu aksi ke aksi, tindakan nyata harus di ambil,
daripada kita yang meminta keputusan lebik baik kita yang membuat keputusan.
Dan sarana menuju kesana telah siap dan matang.”
Lama suasana hening, sebuah kalimat menghentikan diskusi
“Baik, beri aku waktu 2 hari utuk memikirkannya.”
Dan semuanya pun dimulai. Mendapatkan suara terbanyak di
pemilu legislatif pertama era reformasi mengantarkan Ayah menduduki posis
teratas di jajaran legislatif kota tempat ku di besarkan. Om Subur tidak
seberuntung ayahku, mandek di legislatif dia mengambil langkah startegis
menembus eksekutif. Benturan hebat di lingkaran lama mendorong nya bersama
beberapa kologa sejawat menerapkan kesempatan yang diberikan undang-undang
otonomi dengan membentuk daerah tingkat dua baru. Kabupatenku ini. Ayahku juga
terlibat dengan kapasitas dan kemampuan aksesnya di tingkat lobi dan pansus
pemekaran.
Aku kembali ingat saat om Subur berkata di suatu malam.
“Satu-satunya jalan agar korupsi dan birokrasi njelimet di negeri ini musnah adalah
menghentikan segala bentuk gratifikasi,
termasuk pungutan saat masuk CPNS, nota fiktif, dan fee-fee proyek di cut off
sejak awal, tradisi sehat itu mesti dimulai, dan itu harus bersumber dari
pemegang kekuasaan. Pemimpin. Aku menginginkan posisi itu. Karna itu visiku.
Kau, dukung aku di dewan.” Singkat padat jelas langsung menohok, serbu om Subur. Aku tidak mendengar jawaban dari ayahku.
Hanya desah nafas panjang tanpa iya dan tidak. Aku mengartikan itu adalah iya.
Dan dugaanku benar adanya, sepak terjang kedua partner itu
semakin menggila. Dalam proses nya bukan hanya terjadi pergeseran prinsip dan
pandangan, lebih jauh makin mengarah kepada Transkulturasi
paradigma dalam pelaksanaannya, aku melihat ayah sedikit tidak nyaman dalam
pelaksanaan karena sering terjadi friksi
antara kebijakan dan pandangan, terutama bila dikaitkan dengan nurani.
“Inilah konsekwensi sebuah perang kawan, selalu ada korban.
Seorang Mao Tze Dong mengorbankan ratusan
ribu rakyat China lama untuk membentuk China baru, China yang sekarang, China
yang gemilang. Kita tidak mesti mengorbankan sesuatu yang se-ekstrim itu, hanya sedikit mengesampingkan pandangan politik
pribadi demi kepentingan yang lebih besar bijak dibutuhkan dalam masa transisi ini.”
“Tapi prinsip yang satu itu yang membawa kita hingga ke level
ini, cita-cita pergerakan menghapus semua tradisi korupsi, kolusi dan
nepotisme. KA-KA-EN, tiga huruf
itulah yang menjadi akar dari gerakan reformasi, amanat itu masih menjadi
acuan, bukan malah meleburkan diri”. Sanggah ayah.
“Dengan bertahan dengan prinsip itu, kita tidak akan pernah
keluar dari kotak, apa yang dapat kita lakukan bila pemerintah pusat meng-anaktiri-kan kita, kabupaten kita.
Tangga birokrasi hingga ke kementerian memaksa kita mengikuti tradisi ini.
Bukan berarti kita sependapat, namun keluar dari jalur terlalu ekstrim akan melemparkan kita keluar
dari jalan besar, kita sedang membangun daerah ini. Berikan apa yang semestinya
masyarakat dapatkan, masyarakat butuh pembangunan di segala sektor, dan itu
butuh biaya besar, untuk sementara kita hanya bisa mengandalkan pos-pos
anggaran dari pusat, bila tidak kita ambil, kita akan tertinggal. Idealis boleh-boleh saja, tapi jangan
lupakan ada perut yang juga mesti di isi makanan, dan masyarakat kita juga
berperut, dari petani, buruh, pegawai, semuanya berperut. Dan sejatinya perut
merekalah yang kita fikirkan, kita perjuangkan.”
“Juga perut penyokong mu, perutnya jauh lebih besar dari
perut rakyat-rakyat jelata-mu”. Nada sindiran tergambar jelas dari suara ayah.
“Naif kau berkata begitu, jangan lupakan kuasanya lah yang
menyelamatkan kau dahulu, hingga kau masih bernapas dan tidak tinggal nama
seperti rekan-rekan kita yang lain”.
“Mereka berkorban untuk apa yang mereka perjuangkan, apa yang
mereka dan kita yakini, ingin aku berada di antara salah satu dari mereka”.
desis ayah
“Tidak cukup hanya dengan menjadi martir, era itu telah habis, buka matamu, perjuangan kita jauh
lebih berat saat ini, itu faktanya, kita sudah coba dengan berada di luar,
tidak banyak membantu, sekarang kita sudah berada di dalam, cobalah untuk
beradaptasi dan kita selesaikan apa yang sudah kita mulai, setidaknya sampai
periode berikutnya, minimal kita berdua tau makna dari balas budi”.
“atau, kosakata itu sudah tidak ada lagi di kamusmu ?” lanjut
om Subur
“balas budi ?”
“ya, kecuali kau bukan laki-laki !”.
Ayah selalu terdiam dengan dasar-dasar logika social om
Subur. Begitupun kali ini. Lebih lama dari biasanya sebelum akhirnya menjawab.
“Baiklah, kuikuti maumu. Sekali lagi setelah banyak kali yang kuikuti, terserah kau
bilang ini idealis, tapi pada dasarnya ini adalah prinsip !, prinsip yang membuat
kau dan aku bisa berada di tataran ini. Muak
aku mengikuti kehendak politikus-politikus itu, karena kau yang meminta, sekali
lagi aku pasang dada. Dan hutang budi itu lunas!”
Kudengar om Subur tertawa, “Apa kau lupa kalau engkaupun
sekarang seorang politikus ? Dimana bumi
dipijak di situ langit di junjung kawan, haha.. sudahlah, aku atur semuanya
besok, tiap paket ke komisi dan banggar kuserahkan kepadamu,
mekanismenya bagaimana ku kembalikan kepadamu, aku tau kau punya cara sendiri
mengalokasikannya bagaimana.. Aku pamit dulu. Salam ke orang rumahmu dan si Derto”.
***
Gedung pengadilan itu masih ramai, aku tidak berhenti hanya
melewatinya, sekelompok kecil massa yang di luar gedung melihat ke arah vespa
dan menyadari siapa penunggangnya, beberapa berteriak selebihnya mengumpat,
namun tak ku gubris, tangan kiriku menurunkan perseneling sehingga suara mesin mendengung kaget sebelum menderu
dengan kecepatan lebih.
Di depanku berdiri rumah mewah bergaya mediterania dengan pilar-pilar besar menopang struktur bangunan 3
lantai di atasnya. Itu rumah Om Subur,
lengkapnya plus title H.M. Subur
Abadi SH.MM, Bupati terpilih Kabupaten Muara Baru. Rumah itu ramai, terutama
setelah apa yang terjadi tadi di ruang pengadilan.
Ayah memilih membacakan sendiri hak yang diberikan hukum
perundang-undangan negeri ini kepada seorang terdakwa sepertinya. Dalam pleidoi
yang bisa dikatakan bukan merupakan suatu pembelaan, namun nyata sebuah
pengakuan.
“Perang terhadap korupsi, kolusi dan Nepotisme adalah perang
kita bersama, setiap langkah keputusan strategis dalam ruang ketata negaraan
kita tidak lepas dari mekanisme structural yang mengikat, baik dalam system
kelembagaan maupun tradisi kelembagaan. Reformasi emosional yang tidak
tersistem membawa banyak sisa-sisa persoalan, dalam melegitiminasi terkadang
kita mesti mengikuti tradisi”.
“Saya Abdi Mahardika menyatakan bahwa hal yang di dakwakan
kepada saya, tidak sepenuhnya benar, namun saya mengakui bahwa ada sejumlah
paket dana yang dibagiakan oleh saya sendiri kepada sejumlah orang demi
memuluskan pengesahan anggaran dan itu saya sadari hal tersebut tidak dapat
dibenarkan secara hukum, apapun alasannya!”.
Ruang sidang bergemuruh, hakim ketua terpaksa menggebrak meja
sidang dengan palunya untuk menenangkan massa.
“Saya hormati hak hukum yang diberikan kepada saya untuk
membela diri, namun biarkan saya menunaikan kewajiban saya untuk bertanggung
jawab kepada masyarakat atas amanah mereka yang saya lencengkan secara kesatria,
inilah hutang budi saya yang sesungguhnya”. Ayah lantas menyebutkan beberapa
nama.
Ruang sidang makin heboh, arah pengakuan tersebut sudah
sangat jelas mencuil kekuasaan
eksekutif dan lingkaran di sekitarnya. Ayah segera di amankan sementara massa
kian beringas.
***
Dua hari yang lalu aku menjenguk ayah di tahanan,
mengantarkan sambal taucho
kesukaannya dan stok sigaret kretek buatan Surabaya satu slop.
“Der, masih ingat apa yang almarhum kakekmu pesankan dulu
saat kamu ketahuan mencuri telur bebek nya?”, Tanya ayah sambil menyalakan
sebatang sigaret
“Hahaha.. ingat yah, waktu bulan puasa itu kan ?”
“iya..”
“haha.. bagaimana bisa lupa. Kata per kata bahkan” Sahutku
sambil tergelak, mengingat telur-telur malang tersebut aku barter dengan mercon cabe untuk dinyalakan waktu tarawih.
“Ayah ingin dengar setiap katanya dari mulutmu”. Pinta ayah
sambil tersenyum.
“baiklah..” jawabku sambil pasang gaya menirukan kakek
“Derto, Lelaki itu
bukan seseorang yang terus mencari perlawanan dan pembenaran atas apa yang dia
lakukan, walaupun kesempatan akan pembenaran itu ada. Berani menyatakan diri
salah dan meminta maaf jauh lebih terhormat dan lebih laki-laki..” aku terdiam
di akhir kalimat,
“maafkan ayah atas semuanya”. Ayah menatapku dalam, tampak
bias air mata dalam tatapannya
“Dan izinkan ayah menjadi laki-laki”.
***
Air Rambai,
Akhir April 2013 04.45
“Malaikat pun dapat berubah menjadi iblis bila terlalu lama berada
di dalam neraka”.
Tag :
cerpen
2 Komentar untuk "Ayah, Aku Bangga Padamu !! catatan putra seorang koruptor"
Mas Misteradli, saya sangat tertarik dengan cerpen tentang koruptor ini, awalnya saya temukan dari www.cerpenmu.com. Mohon izin mas agar cerpen ini saya share juga di www.koruptor.net, tentu saja dengan mencantumkan nama pengarang dan blog ini. Terimakasih.
Silakan agan Ivan Mangunsong.. dipersilahkan, saya pribadi merasa terhormat bisa menampilkan karya saya di laman agan..:) salam jabat erat..
Silakan berkomentar, baik buruk, pro ataupun kontra, masukan, kritik, bantahan, asal jangan menghujat dan berbau SARA.. Mister terima gan...:) tulus langsung cekidot...go to tab..tanpa verivikasi..bebas.